Minggu, 24 Mei 2020

Perhatian pada Pendidikan



Pesan Ramadhan hari ke 13 1441 H/ 2020 M
Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Hari pendidikan nasional 2 Mei silam, kita peringati ditengah pandemi. Adalah tugas negara mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai warga negara, kita selalu berharap generasi muda dapat beriman, bertakwa, berakhlak mulia. Persis tujuan UU Sisdiknas. Maka tema perbaikan akhlak atau pendidikan karakter adalah kunci pembangunan keberadaban bangsa. Dan kita bisa memulainya dari lingkaran keluarga.


Penulis, berpendapat munculnya tren pendidikan karakter adalah akumulasi klimaks dari demoralisasi yang tampak dalam fenomena sosial kehidupan bernegara. Seakan ada gape (kesenjangan antara ilmu dengan sikap seseorang). Tentu ihwal ini menjadi absurd di mata publik. Lantas pendidikan karakter seperti apa yang hendak dibentuk. Khoiron Rosyadi dalam bukunya pendidikan profetik mengungkapkan pendidikan yang bermakna memanusiakan manusia lebih bermakna antroposentris (berpusat pada manusia). Untuk membentuk karakter, maka pendidikan harus berangkat dari theosentris (berpusat pada keTuhanan) agar pendidikan tidak kehilangan unsur pokok dalam individu yaitu dimensi kerohanian dan spiritual.

Berbicara pendidikan sama saja dengan berbicara sumber daya manusianya. Oleh sebab itu, pengampu kebijakan hendaknya mengetahui dan faham hakikat manusia serta orientasi dilahirkannya untuk apa. Jika pertanyaan fundamen ini belum tuntas dijawab, semodern apapun sistem pendidikan tidak akan mampu membentuk manusia yang seutuhnya.

Manusia saat lahir di dunia telah dibekali fitrah. Menurut Imam Al Ghazali fitrah adalah sifat mendasar yang melekat dalam diri manusia. Seperti naluri berketuhanan (tauhid), dapat membedakan antara yang baik dan buruk, memiliki nafsu, condong pada kebaikan dan tidak dapat hidup sendiri. Setelahnya menjadi tanggung jawab orang tua untuk membentuk karakter anaknya.

Lantas karakter seperti apa yang hendak dibentuk? Teori Ibnu Qayyim dalam pembentukan karakter bermula dari mind-idea-memory-believe-motivation-action-habit-character. Semua berawal dari fikiran sebagai sumber ide karena manusia adalah makhluk mulia yang memiliki akal, kemudian jika insan tersebut memanfaatkannya untuk menemukan ide maka gagasan itu akan disimpan dalam memori kepala sehingga berdampak pada rasa percaya diri. Rasa confident memunculkan motivasi untuk beraksi atau berkehendak. Perbuatan yang berulang-ulang dilakukan akan menjadi habit dan kebiasaan yang rutin dilakukan itulah disebut dengan karakter.

Jadi, dapat dikata karakter itu adalah akhlak. Sebab, menurut imam Al Ghazali, akhlak bersifat konstan, tidak temporer, tak ada pertimbangan, dan tekanan dari luar. Di dalam Islam akhlak bersifat pokok setelah aqidah dan ibadah. Sebab, jatuh bangunnya pribadi, kelompok, etnis, dan negara bergantung pada akhlak warganya. Karena itulah kita dapat memahami alasan Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Mari kita bahu membahu menjaga dan membentuk karakter generasi muda di era disrupsi ini.

Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku "Pecandu Buku"


Tidak ada komentar: