Pesan Ramadhan hari ke 13 1441 H/ 2020 M
Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Hari pendidikan nasional 2 Mei silam, kita peringati ditengah
pandemi. Adalah tugas negara mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai warga
negara, kita selalu berharap generasi muda dapat beriman, bertakwa, berakhlak
mulia. Persis tujuan UU Sisdiknas. Maka tema perbaikan akhlak atau pendidikan
karakter adalah kunci pembangunan keberadaban bangsa. Dan kita bisa memulainya
dari lingkaran keluarga.
Penulis, berpendapat munculnya tren pendidikan karakter adalah
akumulasi klimaks dari demoralisasi yang tampak dalam fenomena sosial kehidupan
bernegara. Seakan ada gape (kesenjangan antara ilmu dengan sikap seseorang).
Tentu ihwal ini menjadi absurd di mata publik. Lantas pendidikan karakter seperti apa yang hendak dibentuk.
Khoiron Rosyadi dalam bukunya pendidikan profetik mengungkapkan pendidikan yang
bermakna memanusiakan manusia lebih bermakna antroposentris (berpusat pada
manusia). Untuk membentuk karakter, maka pendidikan harus berangkat dari
theosentris (berpusat pada keTuhanan) agar pendidikan tidak kehilangan unsur
pokok dalam individu yaitu dimensi kerohanian dan spiritual.
Berbicara pendidikan sama saja dengan berbicara sumber daya
manusianya. Oleh sebab itu, pengampu kebijakan hendaknya mengetahui dan faham
hakikat manusia serta orientasi dilahirkannya untuk apa. Jika pertanyaan
fundamen ini belum tuntas dijawab, semodern apapun sistem pendidikan tidak akan
mampu membentuk manusia yang seutuhnya.
Manusia saat lahir di dunia telah dibekali fitrah. Menurut Imam
Al Ghazali fitrah adalah sifat mendasar yang melekat dalam diri manusia.
Seperti naluri berketuhanan (tauhid), dapat membedakan antara yang baik dan
buruk, memiliki nafsu, condong pada kebaikan dan tidak dapat hidup sendiri.
Setelahnya menjadi tanggung jawab orang tua untuk membentuk karakter anaknya.
Lantas karakter seperti apa yang hendak dibentuk? Teori Ibnu
Qayyim dalam pembentukan karakter bermula dari
mind-idea-memory-believe-motivation-action-habit-character. Semua berawal dari
fikiran sebagai sumber ide karena manusia adalah makhluk mulia yang memiliki
akal, kemudian jika insan tersebut memanfaatkannya untuk menemukan ide maka
gagasan itu akan disimpan dalam memori kepala sehingga berdampak pada rasa
percaya diri. Rasa confident memunculkan motivasi untuk beraksi atau
berkehendak. Perbuatan yang berulang-ulang dilakukan akan menjadi habit dan
kebiasaan yang rutin dilakukan itulah disebut dengan karakter.
Jadi, dapat dikata karakter itu adalah akhlak. Sebab, menurut
imam Al Ghazali, akhlak bersifat konstan, tidak temporer, tak ada pertimbangan,
dan tekanan dari luar. Di dalam Islam akhlak bersifat pokok setelah aqidah dan
ibadah. Sebab, jatuh bangunnya pribadi, kelompok, etnis, dan negara bergantung
pada akhlak warganya. Karena itulah kita dapat memahami alasan Nabi diutus
untuk menyempurnakan akhlak.
Mari kita bahu membahu menjaga dan membentuk karakter generasi
muda di era disrupsi ini.
Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku "Pecandu Buku"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar