Minggu, 24 Mei 2020

Membiasa Membaca



Pesan Ramadhan hari ke 7 1441 H/ 2020 M
Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Sebagai penulis, saya tertarik pada perkembangan dunia literasi. Melalui beberapa bacaan, saya menemukan angka melek aksara warga Indonesia adalah 96% dari total jumlah penduduk (Kemendikbud: 2016). Tetapi melek huruf ini belum berkorelasi positif pada kebiasaan membaca. Hal ini harus dibedakan bahwa orang yang sudah bisa membaca, belum tentu mempunyai rutinitas membaca secara serius. Artinya membaca belumlah membudaya dalam masyarakat Indonesia.

Indeks membaca masyarakat Indonesia adalah 0,01 atau 1 dari 1000 orang yang membiasa membaca (UNESCO, 2011). Masih sangat kecil kawan, padahal laporan UNESCO pada 2006 tentang literasi dunia menyatakan hak literasi adalah bagian esensial dari hak pendidikan. Terpenuhinya hak literasi memungkinkan kita mengakses sains, pengetahuan, dan teknologi.

Minimnya kebiasaan membaca ini, berpengaruh pada buku yang diproduksi warga negaranya. IKAPI menyatakan Indonesia menerbitkan 30.000 judul buku baru per tahun, India 100.000 judul buku per tahun, dan Tiongkok 140.000 per tahun (cnnindonesia: 2016). Kondisi ini menantang kita dalam cita membentuk masyarakat membaca. Sapardi Djoko Damono menyatakan masyarakat membaca adalah masyarakat yang tidak hanya mampu membaca bahan bacaan, tetapi masyarakat yang secara luas mendalami pikiran dan perasaan masyarakat sebagai buah kebudayaan sehingga terciptalah masyarakat madani yang beradab.

Saya juga membaca ulasan Umar Shodik dalam karyanya ‘Pembudayaan Membaca Versus Tradisi Lisan’ (Jurnal Media Informasi UGM: 2001). Meskipun hampir dua dekade silam, namun temuannya masih relevan hingga kini. Umar menguraikan beberapa sebab rendahnya budaya baca masyarakat Indonesia. Pertama, penduduknya ini lebih banyak melestarikan tradisi lisan untuk menyebarkan informasi. Hal ini merupakan warisan nenek moyang yang turun temurun, sehingga tak semudah membalikkan telapak tangan untuk merubahnya. Selain itu, pemerintah, guru, pemuka masyarakat, dan orang tua juga belum memberikan teladan kepada anak agar suka membaca. Kedua, era digital ini menjadikan televisi dan media sosial menjadi sarana untuk menyampaikan dan menerima infomasi. Dampaknya tradisi pandang dan dengar menjadi sangat subur berkembang di kota dan desa di tanah air ini.

Bagi masyarakat desa mungkin masih bisa dimaklumi karena minimnya buku bacaan yang beredar di masyarakat. Tetapi di era smartphone kini, mereka bisa mengakses aplikasi seperti iPusnas di playstore yang disediakan oleh perpustakaan nasional, untuk mendownload dan membaca ratusan buku dari sana. Jika mereka beralasan tak mempunyai biaya untuk membeli buku, itu juga bukan merupakan alasan yang tepat. Sebab, masyarakat bisa berkunjung ke perpustakaan daerah atau mengakses elektronik book (ebook) gratis dari HP nya.

Sekarang kita memasuki kecanggihan teknologi, tetapi kita menjadi gagap saat terjadi pergeseran budaya dari budaya lisan ke budaya elektronik, sebab budaya membaca dilewati atau dilompati begitu saja tanpa dikuasai terlebih dahulu sebelum masuk ke budaya teknologi. Akibatnya kemajuan sarana teknologi ini tidak selalu berkorelasi positif dengan karya tulis atau artikel ilmiah yang dihasilkan. Malah, membuka celah plagiasi karena lemahnya literasi.

Keberadaan telepon pintar bisa membantu kita mengakses buku, kini PR kita adalah bagaimana menumbuhkan minat membaca buku. Minat ini, berkaitan dengan niat dan rasa ingin tahu yang menggebu untuk mendapatkan ilmu. Maka niatkan diri kita dalam membaca, karena ini adalah perintah agama. Raghib As Sirjani dalam “Spiritual Reading, Hidup Lebih Bermakna dengan Membaca”, menguraikan titah Allah pertama ‘baca’ menjadi dua. Pertama, membaca itu harus dengan nama Allah dan tidak boleh membaca sesuatu yang membuat Allah murka. Membaca haruslah berniat karena Allah dan sesuai aturanNya. Demi maslahat bumi dan manusia, serta kebajikan dunia dan akhirat sana. Maka ilmu hasil baca ialah cahaya, jagalah ia dengan niat bersih dan amal shalih.

Kedua, setiap insan yang membaca suatu ilmu, janganlah menjadikannya tamak akan ilmu yang hinggap dibenak. Sebab Allahlah hulu segala ilmu, yang memberi ilmu kepadamu. “Bertakwalah kepada Allah dan dialah yang telah mengajarimu (Q.S. Al Baqarah:85). Ibnu Mas’ud pun merenungi, maka ilmu itu menambah takut diri bukan menjauhkan dari Ilahi. Dan ilmu itu harus banyak diamal bukan menumpuk dihafal, tambah Hasan Al Basri. Mari jagalah ia dari angin kemaksiatan yang setiap saat bisa menghempas cahaya keilmuan.

Membaca mesti ditradisikan dan menulis wajib diupayakan. Sebab, kita akan dianggap serakah manakala banyak baca realitas atau buku, tetapi nihil tulisan sebagai manifestasi mengkampanyekan ilmu. Sampaikan kandungan ilmu kendati hanya satu ayat dengan lisan, tulisan, atau perbuatan. Namun ketahuilah, yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan adi mengabadi. Membaca dan menulislah, kawan.

Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku “Pecandu Buku”


2 komentar:

Unknown mengatakan...

Terima kasih mas.. artikel ini jadi referensi kami para mahasiswa

Vivit Nur Arista Putra mengatakan...

Oke.. Semoga bermanfaat ya..