Pesan Ramadhan hari ke 8 1441 H/ 2020 M
Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Seseorang yang mencapai level membaca yang tinggi, dengan
sendirinya akan mengalirkan pengetahuannya dalam tulisan. Itulah gambaran
keberkahan para ulama dalam meraup ilmu, lalu menuliskannya menjadi buku.
Sebagai contoh, Imam Al Ghazali dalam catatan Dr. Abdul Rahman Badawi, karyanya
mencapai 457 buku. Baik yang masih berupa manuskrip (makhtuthat), atau yang
sudah diterbitkan (mathbu’at) disamping banyak buku lain yang dinisbatkan
kepadanya.
Mensyukuri umur 90 tahun, Ibnu Jauzi membuahkan karya 197 kitab
menurut Ibnu Rajab. Ibnu Katsir menyatakan 300 kitab kecil dan besar. Cucunya
Abdul Muzhaffar menyebutkan dalam Mir’ah az Zaman, “kakekku mengarang 215
kitab.” Ibnu Taimiyah menurut pendapat muridnya Ibnu Qayyim menghasilkan 350
karya yang terdiri dari kitab besar, risalah, dan kaidah-kaidah. Ibnu Aqil
menulis Al Funun terdiri dari 800 jilid yang merupakan kitab kolosal perpaduan
nasihat, tafsir, fiqih, ushuludin, nahwu, dan tarikh. Ini adalah salah satu
karyanya. Al Hafizh Dzahabi bertestimoni “di dunia ini tak ada karya tulis yang
dibuat setara dengan kitab ini.”
Mereka bukanlah alumni training jurnalistik atau pelatihan
kepenulisan. Tetapi mempunyai ritme menulis yang luar biasa, suatu karya yang
sulit bahkan mustahil ditiru oleh ulama kini. Para ulama dahulu kitab-kitabnya
melegenda hanya dengan menggunakan pena celup. Sekarang penulis jauh lebih
mudah dan cepat mengumpulkan data informasi melalui internet, laptop, dan
handphone. Tetapi kemajuan teknologi tak selalu memberi garansi produktifitas karya.
Sebab bukan itu kunci menulis. Lantas apa kiat mereka ajeg dalam menulis.
Izinkanlah si faqir ilmu ini sedikit berbagi dengan keterbatasan yang dimiliki.
Pertama, keberhasilan ulama menelurkan ratusan karya adalah
potret manajemen waktu yang sempurna. Tak ada produktifitas amal kecuali di
masa muda. Sedetik waktu begitu berharga bagi mereka, sebab waktu paling cepat
hilangnya. Imam Al Baihaqi bersaksi Imam Syafei membagi waktunya menjadi tiga,
satu bagian menuntut ilmu, satu bagian mencari rezeki, satu bagian untuk
menulis. Sungguh takjub hati ini dengan Imam Al Kinani “bagi penuntut ilmu
hendaknya mempercepat dalam tiga hal; makan, berjalan, dan menulis.” Turut
menanggapi Imam An Nawawi “penuntut ilmu harus punyai jiwa rakus dalam belajar,
senantiasa menekuni tiap waktu siang maupun malam, bermukim atau bepergian. Tak
boleh sia-siakan waktunya selain menuntut ilmu kecuali makan dan tidur yang tak
terelakan. Termasuk rehat sejenak untuk usir kejenuhan.”
Ibnu Aqil tak mau kalah “setiap malam selalu aku habiskan
menuntut ilmu. Kecuali pada dua waktu, pertama saat ayahku meninggal dan kedua
saat aku menikah.” Rutinitas Ibnu Malik An Nadwi adalah sholat, membaca Al
Qur’an, mengarang atau menelaah buku. “Bila aku masuk WC”, pinta Ibnu Taimiyah,
“bacakan kitab ini dan keraskan suaramu agar aku dapat mendengarnya.” Pengarang
Siyasah Syar’iyah ini tak ingin waktunya lolos tanpa guna. “Demi Allah” sesal
pakar tafsir Fakhrudin Ar Razi, “saya sungguh berduka atas hilangnya waktu
untuk makan. Mestinya bisa dipakai untuk menggeluti ilmu, karena sangat
bernilainya waktu.”
Mengelola waktu beribadah, membaca, berdialektika, dan
menuliskan karya menjadi rahasia ampuh para ulama dulu menorehkan ratusan kitab
dengan pendeknya usia mereka. Itulah gambaran kesuksesan manajemen waktu.
Satuan waktu berbanding dengan satuan amal. Kini dengan kecanggihan teknologi
dan komunikasi untuk mencari beragam literatur yang mudah disadur, maukah
engkau tuliskan ilmu yang menghampirimu?
Kedua, menentukan target dan tenggat waktu tulisan. Pelajaran
dari profesi wartawan adalah adanya deadline harian untuk membuat tulisan. Cara
ini bisa diadopsi, agar sehari atau beberapa hari mampu membuat karya yang
bertaji. Jika engkau ingin menuliskan kebenaran, kenapa harus menunggu kondisi
mood untuk menuliskan. Justru suasana hati itu harus dikelola dengan target
tepat, dan patokan waktu tertentu agar segera berpacu menulis ilmu. Cukuplah
keagungan agama ini menjadi penyemangat kita dalam berkarya. Sebab menulis
bukanlah sekadar hobi, bukan pula bakat atau talenta yang dimiliki seseorang,
tetapi menulis adalah konsep hidup kita dalam beramal.
Bersambung...
Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku “Pecandu Buku”
Tambahkan teks
Tidak ada komentar:
Posting Komentar