Minggu, 24 Mei 2020

Menjaga Ritme Menulis (Part 1)


Pesan Ramadhan hari ke 8 1441 H/ 2020 M
Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Seseorang yang mencapai level membaca yang tinggi, dengan sendirinya akan mengalirkan pengetahuannya dalam tulisan. Itulah gambaran keberkahan para ulama dalam meraup ilmu, lalu menuliskannya menjadi buku. Sebagai contoh, Imam Al Ghazali dalam catatan Dr. Abdul Rahman Badawi, karyanya mencapai 457 buku. Baik yang masih berupa manuskrip (makhtuthat), atau yang sudah diterbitkan (mathbu’at) disamping banyak buku lain yang dinisbatkan kepadanya. 


Mensyukuri umur 90 tahun, Ibnu Jauzi membuahkan karya 197 kitab menurut Ibnu Rajab. Ibnu Katsir menyatakan 300 kitab kecil dan besar. Cucunya Abdul Muzhaffar menyebutkan dalam Mir’ah az Zaman, “kakekku mengarang 215 kitab.” Ibnu Taimiyah menurut pendapat muridnya Ibnu Qayyim menghasilkan 350 karya yang terdiri dari kitab besar, risalah, dan kaidah-kaidah. Ibnu Aqil menulis Al Funun terdiri dari 800 jilid yang merupakan kitab kolosal perpaduan nasihat, tafsir, fiqih, ushuludin, nahwu, dan tarikh. Ini adalah salah satu karyanya. Al Hafizh Dzahabi bertestimoni “di dunia ini tak ada karya tulis yang dibuat setara dengan kitab ini.”

Mereka bukanlah alumni training jurnalistik atau pelatihan kepenulisan. Tetapi mempunyai ritme menulis yang luar biasa, suatu karya yang sulit bahkan mustahil ditiru oleh ulama kini. Para ulama dahulu kitab-kitabnya melegenda hanya dengan menggunakan pena celup. Sekarang penulis jauh lebih mudah dan cepat mengumpulkan data informasi melalui internet, laptop, dan handphone. Tetapi kemajuan teknologi tak selalu memberi garansi produktifitas karya. Sebab bukan itu kunci menulis. Lantas apa kiat mereka ajeg dalam menulis. Izinkanlah si faqir ilmu ini sedikit berbagi dengan keterbatasan yang dimiliki.

Pertama, keberhasilan ulama menelurkan ratusan karya adalah potret manajemen waktu yang sempurna. Tak ada produktifitas amal kecuali di masa muda. Sedetik waktu begitu berharga bagi mereka, sebab waktu paling cepat hilangnya. Imam Al Baihaqi bersaksi Imam Syafei membagi waktunya menjadi tiga, satu bagian menuntut ilmu, satu bagian mencari rezeki, satu bagian untuk menulis. Sungguh takjub hati ini dengan Imam Al Kinani “bagi penuntut ilmu hendaknya mempercepat dalam tiga hal; makan, berjalan, dan menulis.” Turut menanggapi Imam An Nawawi “penuntut ilmu harus punyai jiwa rakus dalam belajar, senantiasa menekuni tiap waktu siang maupun malam, bermukim atau bepergian. Tak boleh sia-siakan waktunya selain menuntut ilmu kecuali makan dan tidur yang tak terelakan. Termasuk rehat sejenak untuk usir kejenuhan.”

Ibnu Aqil tak mau kalah “setiap malam selalu aku habiskan menuntut ilmu. Kecuali pada dua waktu, pertama saat ayahku meninggal dan kedua saat aku menikah.” Rutinitas Ibnu Malik An Nadwi adalah sholat, membaca Al Qur’an, mengarang atau menelaah buku. “Bila aku masuk WC”, pinta Ibnu Taimiyah, “bacakan kitab ini dan keraskan suaramu agar aku dapat mendengarnya.” Pengarang Siyasah Syar’iyah ini tak ingin waktunya lolos tanpa guna. “Demi Allah” sesal pakar tafsir Fakhrudin Ar Razi, “saya sungguh berduka atas hilangnya waktu untuk makan. Mestinya bisa dipakai untuk menggeluti ilmu, karena sangat bernilainya waktu.”

Mengelola waktu beribadah, membaca, berdialektika, dan menuliskan karya menjadi rahasia ampuh para ulama dulu menorehkan ratusan kitab dengan pendeknya usia mereka. Itulah gambaran kesuksesan manajemen waktu. Satuan waktu berbanding dengan satuan amal. Kini dengan kecanggihan teknologi dan komunikasi untuk mencari beragam literatur yang mudah disadur, maukah engkau tuliskan ilmu yang menghampirimu?

Kedua, menentukan target dan tenggat waktu tulisan. Pelajaran dari profesi wartawan adalah adanya deadline harian untuk membuat tulisan. Cara ini bisa diadopsi, agar sehari atau beberapa hari mampu membuat karya yang bertaji. Jika engkau ingin menuliskan kebenaran, kenapa harus menunggu kondisi mood untuk menuliskan. Justru suasana hati itu harus dikelola dengan target tepat, dan patokan waktu tertentu agar segera berpacu menulis ilmu. Cukuplah keagungan agama ini menjadi penyemangat kita dalam berkarya. Sebab menulis bukanlah sekadar hobi, bukan pula bakat atau talenta yang dimiliki seseorang, tetapi menulis adalah konsep hidup kita dalam beramal.

Bersambung...

Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku “Pecandu Buku”




Tambahkan teks

Tidak ada komentar: