Minggu, 24 Mei 2020

Menjaga Ritme Menulis (Part 2)



Pesan Ramadhan hari ke 9 1441 H/ 2020 M
Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Mari kita lanjutkan pembahasan menjaga ritme menulis. Kawan, teladani penjaga agama ini. Al Baqillani tidak tidur sebelum menulis 35 lembar dari hafalannya. Khatib Al Baghdadi menyebutkan “As Simsimi bercerita Imam At Thabari selama 40 tahun menulis 40 lembar per harinya.” Bandingkan dengan si dha’if yang mericau ini, semasa kuliah hanya mematok target 4 tulisan harus dimuat di media per bulannya. Dengan sedangkal pengetahuan yang dimiliki, itu pun masih berorientasi materi tuk penuhi kebutuhan studi. Sampai kini yang membual ini masih belajar luruskan niat, jadikan menulis alat berbagi manfaat.


Ketiga, bergabung dengan komunitas menulis atau membuatnya. Aura penulis akan memengaruhi orang-orang di dalamnya. Medium berbincang di saat ide gersang. Wahana koreksi tuk perbaiki tulisan antar pribadi. Sekaligus menjadikan komunitas sebagai ruang kaderisasi dan pelatihan penulis, agar tetap lestari tradisi literasi.

Keempat, meresensi buku setelah membacanya. Langkah ini dapat dilakukan untuk mengasah dan mengukur otak seberapa matang mencerna isi buku setelah dibaca. Sebab, “setengah jam setelah membaca” terang Dr. Raghib As Sirjani, “50% isi buku akan hilang dari ingatan pembaca. Setelah 24 jam berlalu, pembaca akan melupakan 80% isi buku. Maka tulislah untuk menjaganya.” Selain itu, biasanya seorang pengarang tak percaya diri menulis topik di luar disiplin ilmunya. Maka menulis resensi buku dapat menjadi alternatif, sebab apapun genre bukunya dan siapapun penulisnya cenderung dapat diterima publik dan redaktur jika dikirim ke media massa.

Kelima, cukuplah firman Allah ini menjadi pelecut semangat terus menulis. Abu Hurairah berkisah, kalau saja tidak ada dua ayat dalam Al Qur’an ini, niscaya saya takkan sampaikan hadist yang telah diterima. “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan dan petunjuk, sesudah kami terangkan kepada mereka dalam Al kitab. Mereka akan dilaknat oleh Allah dan orang-orang yang menjatuhkan laknat. Kecuali orang yang bertaubat, memperbaiki diri dan membuktikannya. Merekalah yang aku terima taubatnya. Dan Aku maha penerima taubat dan maha penyayang” (Al Baqarah: 159-160).

Imam At Thabari mengomentari walaupun ayat ini diturunkan kepada kalangan tertentu (Yahudi dan Nasrani), namun maksudnya seluruh orang yang merahasiakan ilmu diwajibkan Allah untuk menyampaikan. Serupa kabar dari Nabi saw “sesiapa ditanya tentang ilmu yang ia ketahui lalu menyembunyikannya, maka ia akan dibelenggu di neraka kelak” (H.R. Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad). Bersandar lisan, ilmu dapat lenyap dalam sekejap. Berharap dengan menulis, warisan ilmu dapat tergaris. Dalam seputih kertas, teruntuk generasi pewaris.

Sehelai kertas seputih salju berkata, tulis Khalil Gibran dalam puisinya. “Begitu murni aku diciptakan, dan akan murnilah aku selamanya. Aku lebih baik terbakar dan menjadi abu putih daripada tersentuh kegelapan atau terkena kotoran.” Sebotol tinta mendengar ucapan kertas itu, dan dia tertawa dalam hatinya yang gelap; namun tetap tak berani mendekatinya. Dan pensil-pensil warna pun mendengarnya, dan mereka tak pernah mendekatinya jua. Dan kertas seputih salju itu pun tetap bersih dan suci selamanya, murni, bersih, dan kosong. Gibran ingin katakan jika kertas putih bisa bicara, ia tak rela jika di atasnya tercoret pena terlaknat. Begitupun seyogianya manusia, tak relakan goreskan kata dusta. Memicu laknat di dunia dan akhirat, mengundang maksiat antar pribadi dan masyarakat.

Renungilah cerita ini, Abu Musa Al Asyari pernah bertanya pada Nabi saw, “Ya Rasulullah seperti apa seorang muslim yang utama?” Baginda Nabi saw menanggapi “muslim yang menyelamatkan muslim lainnya dari lisan dan tangannya” (H.R. Bukhari dan Muslim). Agar selamat dari lisan, berkatalah baik atau diam. Agar selamat dari tangan, kendalikan diri dengan aktivitas berarti. Bisa juga dimaknai, dengan tangan tuliskan kebenaran, eratkan persaudaraan, dan hapuskan permusuhan. Menentramkan, menyelamatkan.


Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku “Pecandu Buku”


Tidak ada komentar: