Puasa merupakan bentuk ibadah untuk mencapai derajat takwa.
Adapun orang menjadi sehat, itu adalah dampak fisiologis. Bukan orientasi
ibadah. Kita harus pandai membedakannya. Ada hadist “berpuasalah, niscaya kamu
sehat”. Diriwayatkan At Tabrani dari Abu Hurairah dan Ibnu Adiyy dari Ali dan
Ibnu Abbas. Kendati ada yang mengatakan hadis tersebut dha'if. Tapi matan atau
redaksinya terbukti kebenarannya. Ilmuwan barat yang faham ilmu anatomi tubuh
dan fisiologi akan berpuasa karena menyehatkan.
Penjelasannya, perut adalah salah satu organ tubuh yang tak
berhenti bekerja semenjak lahir hingga kini. Inilah mengapa mungkin penyakit
yang pernah dialami seluruh manusia adalah sakit perut. Ibarat mesin jika terus
menerus bekerja tanpa rehat akan rapuh dan cepat rusak. Maka salah satu cara
untuk merawatnya adalah berpuasa.
Berpuasa akan membuat lambung dan usus istirahat sejenak. Namun,
jika anda berpuasa dengan niatan menyehatkan, bukan karena Allah akan membuat
aktivitas puasa menjadi sia-sia. Sebab niat merupakan rukun puasa, dan Allah
hanya akan menerima pahala serta mengampuni dosa bagi orang yang berniat lurus
puasanya.
Ramadhan disebut pula syahrullah (bulan Allah), karena setiap
amalan puasa hanya untuk Allah. Syari’at puasa Ramadhan diturunkan pada tahun
kedua hijriah, setelah Nabi Muhammad saw dan kaum Yahudi, Nasrani, dan paganis
Madinah bersepakat menandatangani piagam Madinah. Perjanjian ini berisi
kebebasan beragama dan melaksanakan ritual agama tanpa gangguan dari pihak
lain. Sehingga secara sosial politik kondusif untuk melaksanakan puasa
ramadhan.
Di segi lain, aturan puasa diberlakukan pada tahun ke 2 setelah
hijrah. Jika hijrah merupakan seleksi Allah untuk menguji kalangan Muhajirin
apakah memilih Islam dengan pergi ke Madinah atau bertahan di Makkah karena
cinta karib kerabat, harta, dan tanah. Maka puasa bertujuan menyeleksi ulang
setiap mukmin akan komitmennya terhadap Islam. Karena itu seruan Allah dalam Al
Qur'an berbunyi, "Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu
berpuasa..." (Q.S. Al Baqarah: 183).
Menurut Sa’id Hawwa dalam Al Islam, puasa dilaksanakan pada
bulan Ramadhan di tahun Qamariyah lebih pendek sepuluh hari dari tahun
Syamsiyah. Sehingga kehadiran Ramadhan lebih cepat sepuluh hari dari Ramadhan
sebelumnya. Jika seorang muslim sudah berpuasa Ramadhan 36 tahun, berarti dia
telah berpuasa di seluruh macam hari dan aneka musim setiap tahunnya. Begitupun
dengan makanan dan buah-buahan yang tumbuh pada musim tertentu. Maka manusia
dilatih tidak makan buah-buahan yang berbuah pada waktu tertentu, sebaliknya
hal ini menjadikan manusia memungkinkan memakan semua buah-buahan pada setiap
Ramadhan yang dilaluinya.
Di bulan yang penuh berkah dan maghfirah ini, Nabi Muhammad saw
menganjurkan memperbanyak membaca Al Qur’an, sadaqah, dan amalan terpuji
lainnya karena pahalanya akan berlipat. “Sesiapa berbuat baik” seru Allah dalam
Al An’am:160. “akan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya”. Rasulullah
melengkapi “sesiapa puasa penuh di bulan Ramadhan ditambah enam hari di Syawal,
maka setara dengan puasa setahun penuh”. Ibnu Qayyim dalam Zaa’dul Ma’ad
menjelaskan, jika sehari puasa berpahala 10 berarti 30 hari X 10 = 300.
Ditambah 6 hari X 10 = 60. Akhirnya 300+60=360 hari atau hampir satu tahun.
Tidak sampai 365 hari karena ada hari lain yang dilarang berpuasa yaitu idul
fitri, idul adha, dan hari Tasyrik (tiga hari setelah idul adha).
Teman-teman, Rasulullah bersabda "ada 3 orang yang tidak
ditolak doanya, mereka adalah orang yang berpuasa hingga berbuka, penguasa yang
adil, dan orang teraniaya." Maka sambil menunggu berbuka mari kita berdoa,
semoga Allah segera hilangkan wabah Corona ini, sehingga kita bisa menikmati
sholat berjamaah, mendengarkan ceramah, dan tadarus di Masjid sebagaimana
tahun-tahun sebelumnya. Semoga tulisan ini dapat mengganti ceramah lisan saya.
Sekaligus menunaikan amanah dakwah pada sesama.
Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku “Pecandu
Buku”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar