Minggu, 24 Mei 2020

Tingkatan Puasa Menurut Imam Al Ghazali


Pesan Ramadhan Hari ke 2 1441 H/ 2020 M

Rumah Pensil Publisher

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Said Hawwa menyebut esensi puasa ialah melemahkan berbagai kekuatan hati dan perut yang dijadikan sarana syetan mengajak orang kepada keburukan. Sehingga dengan terjaganya kondisi hati dan perut tersebut, kita bisa mengalihkannya pada tindakan yang terpuji. Ketahuilah “amalan setiap anak Adam pahalanya untuk dirinya, kecuali puasa. Karena puasa itu untukKu dan Aku akan memberikan pahala berkali lipat. Puasa adalah benteng, maka jika kalian berpuasa janganlah kalian berkata kotor, janganlah marah, dan jika ada orang yang mencaci maki dan menyerangmu katakanlah, saya sedang puasa” (H.R. Bukhari-Muslim). Pada riwayat Muslim disebutkan, “di bulan Ramadhan pahala anak Adam akan dilipatgandakan, satu amalan kebaikan akan dibalas dengan sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat pahala”.


Imam Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menguraikan tingkatan puasa setiap manusia ada tiga, yakni puasa umum, puasa khusus, dan puasa super khusus. Adapun puasa umum ialah puasa yang dilakukan mayoritas orang, menahan makan, minum, dan jima’ (bersetubuh). Sedangkan puasa khusus ialah menahan lapar dan dahaga dan menjaga indera tubuh penglihatan, pendengaran, lisan, tangan, kaki dari perbuatan maksiat. Puasa super khusus lebih khusus lagi yaitu puasa hati dari kehendak hina dan segala fikiran duniawi serta mencegahnya dari memikirkan selain Allah. Puasa terakhir ini merupakan level para Nabi, para sahabat, dan muqarrabin. Para ulama menyebutnya kita tidak mungkin mecapai tingkatan ini, dan jenjang puasa yang mungkin ditembus ialah puasa khusus. Yaitu puasanya orang shalih yang menahan dan menjaga anggotan badannya dari maksiat.



Untuk menyempurnakan puasa khusus ada enam perkara yang harus dilalui. Pertama, menundukkan pandangan dari objek yang membuat Allah murka dan benci. Sebab, pandangan adalah busur panah iblis. Dari sanalah mula segala asal muara ucapan dan perilaku. Dan ini merupakan ujian terberat di tengah keterbukaan informasi dan vulgarnya siaran televisi yang menampilkan aksi tak elok. Tetapi jika kita dapat menanggulanginya Allah menghadiahkan pahala setimpal “barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah maka ia telah diberi Allah keimanan yang memberikan kelezatan di hatinya” (H.R. Al Hakim).

Kedua, menjaga lisan dari ghibah, menggungjing orang lain, bualan sia-sia, maupun perkataan nista. Sebab, kesemuanya itu dapat merusak puasa. Jika tak ada pembicaraan penting yang disampaikan hendaknya diam atau mengisi waktu luang dengan membaca Al Qur’an. "Sesiapa membaca satu huruf dari kitab Allah, maka ia akan mendapatkan satu kebaikan. Kebaikan itu akan berlipat ganda menjadi sepuluh. Tidak aku katakan alif, lam, mim itu satu huruf, tetapi alif satu, lam satu huruf, dan mim satu huruf” pesan Nabi Saw yang diabadikan Imam At Tirmidzi.

Ketiga, menahan pendengaran dari ihwal tercela. Sebab Allah menyatukan orang yang mendengarkan ghibah dan fitnah dengan orang yang memakan barang haram. “Mereka itu adalah orang yang suka mendengar berita bohong, dan banyak memakan yang haram" (Q.S. Al Maidah: 42). Semoga kita bisa menghindarinya.

Keempat, menahan anggota tubuh dari dosa. Said Hawaa dalam karyanya Tazkiyatun Nafs (Mensucikan Jiwa) menerangkan barang haram adalah racun yang menghancurkan agama, sedangkan barang halal adalah ramuan bermanfaat bagi raga. Nabi bertutur “betapa banyak orang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkannya kecuali hanya lapar dan dahaga” (H.R. Nasa’i dan Ibnu Majah).

Kelima, janganlah berlebihan saat berbuka. Sebab, jika perut terlalu penuh. Berat bagi tubuh shalat tarawih dan tadarus secara utuh. Bagaimana kita dapat mengendalikan hawa nafsu jika saat berbuka memanjakan nafsunya dengan makanan yang banyak. Karena orientasi puasa adalah pengosongan dan penundukkan hawa nafsu untuk membersihkan jiwa mencapai derajat takwa.

Keenam, hendaknya setelah berbuka, perasaan kita dipenuhi khauf (cemas) dan raja’ (harap). Sebab, kita tak tahu puasanya diterima atau ditolak. Rasa cemas diperlukan untuk meningkatkan kualitas puasa yang telah dilaksanakan. Sedangkan penuh harap berperan tumbuhkan rasa optimis menjalani puasa berikutnya.

Semoga kita mampu melalui input puasa ini dengan output menjadi insan paripurna di mata Allah taala.

Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku “Pecandu Buku”


Tidak ada komentar: