Pesan Ramadhan hari ke 7 1441 H/ 2020 M
Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Sebagai penulis, saya tertarik pada perkembangan dunia literasi.
Melalui beberapa bacaan, saya menemukan angka melek aksara warga Indonesia
adalah 96% dari total jumlah penduduk (Kemendikbud: 2016). Tetapi melek huruf
ini belum berkorelasi positif pada kebiasaan membaca. Hal ini harus dibedakan
bahwa orang yang sudah bisa membaca, belum tentu mempunyai rutinitas membaca
secara serius. Artinya membaca belumlah membudaya dalam masyarakat Indonesia.
Indeks membaca masyarakat Indonesia adalah 0,01 atau 1 dari 1000 orang yang membiasa membaca (UNESCO, 2011). Masih sangat kecil kawan, padahal laporan UNESCO pada 2006 tentang literasi dunia menyatakan hak literasi adalah bagian esensial dari hak pendidikan. Terpenuhinya hak literasi memungkinkan kita mengakses sains, pengetahuan, dan teknologi.
Minimnya kebiasaan membaca ini, berpengaruh pada buku yang
diproduksi warga negaranya. IKAPI menyatakan Indonesia menerbitkan 30.000 judul
buku baru per tahun, India 100.000 judul buku per tahun, dan Tiongkok 140.000
per tahun (cnnindonesia: 2016). Kondisi ini menantang kita dalam cita membentuk
masyarakat membaca. Sapardi Djoko Damono menyatakan masyarakat membaca adalah
masyarakat yang tidak hanya mampu membaca bahan bacaan, tetapi masyarakat yang
secara luas mendalami pikiran dan perasaan masyarakat sebagai buah kebudayaan
sehingga terciptalah masyarakat madani yang beradab.
Saya juga membaca ulasan Umar Shodik dalam karyanya ‘Pembudayaan
Membaca Versus Tradisi Lisan’ (Jurnal Media Informasi UGM: 2001). Meskipun
hampir dua dekade silam, namun temuannya masih relevan hingga kini. Umar
menguraikan beberapa sebab rendahnya budaya baca masyarakat Indonesia. Pertama,
penduduknya ini lebih banyak melestarikan tradisi lisan untuk menyebarkan
informasi. Hal ini merupakan warisan nenek moyang yang turun temurun, sehingga
tak semudah membalikkan telapak tangan untuk merubahnya. Selain itu,
pemerintah, guru, pemuka masyarakat, dan orang tua juga belum memberikan
teladan kepada anak agar suka membaca. Kedua, era digital ini menjadikan
televisi dan media sosial menjadi sarana untuk menyampaikan dan menerima
infomasi. Dampaknya tradisi pandang dan dengar menjadi sangat subur berkembang
di kota dan desa di tanah air ini.
Bagi masyarakat desa mungkin masih bisa dimaklumi karena
minimnya buku bacaan yang beredar di masyarakat. Tetapi di era smartphone kini,
mereka bisa mengakses aplikasi seperti iPusnas di playstore yang disediakan
oleh perpustakaan nasional, untuk mendownload dan membaca ratusan buku dari
sana. Jika mereka beralasan tak mempunyai biaya untuk membeli buku, itu juga
bukan merupakan alasan yang tepat. Sebab, masyarakat bisa berkunjung ke
perpustakaan daerah atau mengakses elektronik book (ebook) gratis dari HP nya.
Sekarang kita memasuki kecanggihan teknologi, tetapi kita
menjadi gagap saat terjadi pergeseran budaya dari budaya lisan ke budaya
elektronik, sebab budaya membaca dilewati atau dilompati begitu saja tanpa
dikuasai terlebih dahulu sebelum masuk ke budaya teknologi. Akibatnya kemajuan
sarana teknologi ini tidak selalu berkorelasi positif dengan karya tulis atau
artikel ilmiah yang dihasilkan. Malah, membuka celah plagiasi karena lemahnya
literasi.
Keberadaan telepon pintar bisa membantu kita mengakses buku,
kini PR kita adalah bagaimana menumbuhkan minat membaca buku. Minat ini,
berkaitan dengan niat dan rasa ingin tahu yang menggebu untuk mendapatkan ilmu.
Maka niatkan diri kita dalam membaca, karena ini adalah perintah agama. Raghib
As Sirjani dalam “Spiritual Reading, Hidup Lebih Bermakna dengan Membaca”,
menguraikan titah Allah pertama ‘baca’ menjadi dua. Pertama, membaca itu harus
dengan nama Allah dan tidak boleh membaca sesuatu yang membuat Allah murka.
Membaca haruslah berniat karena Allah dan sesuai aturanNya. Demi maslahat bumi
dan manusia, serta kebajikan dunia dan akhirat sana. Maka ilmu hasil baca ialah
cahaya, jagalah ia dengan niat bersih dan amal shalih.
Kedua, setiap insan yang membaca suatu ilmu, janganlah
menjadikannya tamak akan ilmu yang hinggap dibenak. Sebab Allahlah hulu segala
ilmu, yang memberi ilmu kepadamu. “Bertakwalah kepada Allah dan dialah yang
telah mengajarimu (Q.S. Al Baqarah:85). Ibnu Mas’ud pun merenungi, maka ilmu
itu menambah takut diri bukan menjauhkan dari Ilahi. Dan ilmu itu harus banyak
diamal bukan menumpuk dihafal, tambah Hasan Al Basri. Mari jagalah ia dari
angin kemaksiatan yang setiap saat bisa menghempas cahaya keilmuan.
Membaca mesti ditradisikan dan menulis wajib diupayakan. Sebab,
kita akan dianggap serakah manakala banyak baca realitas atau buku, tetapi
nihil tulisan sebagai manifestasi mengkampanyekan ilmu. Sampaikan kandungan
ilmu kendati hanya satu ayat dengan lisan, tulisan, atau perbuatan. Namun
ketahuilah, yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan adi mengabadi. Membaca
dan menulislah, kawan.
Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku “Pecandu Buku”
2 komentar:
Terima kasih mas.. artikel ini jadi referensi kami para mahasiswa
Oke.. Semoga bermanfaat ya..
Posting Komentar